LELAKI tua itu masuk ke dalam rumahnya dengan langkah tergesa.
Dibantingnya daun
pintu. Dari balik kaca jendela ia kemudian memandang penuh benci kepada lelaki
muda yang duduk sambil merokok dan menikmati kopi di balkon seberang rumahnya.
Cuih. Ia yakin perempuan tua itu yang menyuruh lelaki muda duduk di sana, supaya
terlihat olehnya dan merasakan hidupnya semakin hancur.
Ia tahu,
perempuan tua itu tengah bersolek di kamarnya. Sebentar lagi mereka akan pergi
bersenang-senang entah ke mana. Mungkin ke sebuah vila atau di kamar hotel
pinggiran kota. Dasar sundal, gumamnya. Lelaki tua duduk menyandarkan
punggungnya di kursi. Rambut tipisnya yang berantakan membuat ia makin
tampak letih. Sakit di tengkuk dan lututnya belakangan makin sering datang dan
menyiksanya.
Di rumah ini ia
tinggal sendiri. Pembantunya hanya datang pagi untuk menyapu, mengepel, mencuci
baju, dan mengganti air di jambangan bunga. Selebihnya tinggal dan menjaga di
rumah perempuan tua itu. Rumah yang hanya berjarak beberapa meter dari rumah
lelaki tua hanya dipisahkan halaman dan rumpun bambu kuning sebagai pagar
pembatas dan membagi taman menjadi dua, meski sisi kanan kedua bangunan kembali
disatukan oleh pintu gerbang yang sama. Tak ada yang menyita pikirannya
sekarang, kecuali putri bungsu kesayangannya dan perempuan tua itu.
Rumah yang
ditempati lelaki tua memang bagian dari rumah perempuan tua itu. Keduanya dulu
pasangan suami istri yang serasi, sama-sama sukses mengelola usaha penerbitan
majalah.
Namun justru
karena itulah keduanya tak pernah berada di rumah dalam waktu bersamaan. Hal
yang kemudian diikuti anak-anak mereka. Jim si sulung dan Margareth si tengah
sudah keluar dari rumah ini, membawa keluarga masing-masing ke kota lain,
mungkin juga negara lain. Sebagaimana Jim, hanya sekali Margareth berkunjung
setelah pernikahan mereka yang digelar dengan megah. Waktu itu hubungannya
dengan perempuan tua belum seburuk sekarang.
Sejak pernikahan
kedua kakaknya, si bungsu Ciara, yang tiba-tiba datang membawa masalah,
ikut-ikutan meninggalkan rumah. Tak pulang-pulang kecuali sekadar mengambil
buku dan baju. Jim dan Margareth kabarnya telah memberinya cucu. Lelaki tua
menghela napas berat. Ia tak ingin menyalahkan mereka yang abai pada dirinya.
Sejak awal ia berpikir bahwa anak-anak memiliki hidup mereka sendiri. Mestinya
termasuk garis hidup yang kini dilakoni Ciara. Tapi ternyata tidak mudah.
***
Lelaki tua segera
menghapus lamunannya dan kembali menunggu adegan yang dipertontonkan perempuan
tua dan lelaki muda itu berikutnya. Benar saja, tak lama kemudian perempuan tua
muncul di balkon dan menghampiri lelaki muda, meminta komentarnya tentang gaun yang
dikenakan dengan lagak manja gadis remaja seperti yang sudah dihafal lelaki tua
itu.
Perempuan tua
berputar layaknya model di panggung peragaan busana, sembari cekikikan.
Sementara lelaki muda memandanginya serius, lantas memberi komentar. Perempuan
tua mengenakan gaun warna biru dengan belahan dada rendah, sepatu hak tinggi
berwarna senada.
Adegan itu sangat
menghancurkan perasaan lelaki tua. Namun anehnya ia terus memperhatikan setiap
gerak-gerik mereka seakan rasa nyeri yang ditimbulkannya memberi kenikmatan
tersendiri. Sekarang lelaki muda bangkit dari duduknya, lalu masuk ke dalam
untuk kemudian muncul kembali membawa cawan anggur untuk perempuan tua yang
terlihat terus sibuk mematut-matut diri. Ia meraih cawan yang disodorkan lelaki
muda, sebelum meminumnya bersama-sama mereka melakukan toast, diiringi suara tawa yang
makin terdengar menusuk di telinga lelaki tua.
“Tingkah mereka
keterlaluan,“ dengus lelaki tua. Ia bangkit dari kursi dan berjalan
mondar-mandir seperti orang linglung. Kepalanya berdenyut menahan ledakan
kemarahan. Sejak dari sanggar tadi ia berniat mendatangi perempuan tua itu
untuk mengajaknya bicara perihal putri bungsu kesayangan mereka yang telah
membuat pengakuan, dan membuatnya terpukul dan sedih. Sejak mendengar pengakuan
putrinya, ia berencana segera mengajak bicara perempuan tua itu. Ia merasa
tidak dapat menyimpan kesedihan sendirian. Tak mungkin rasanya ia membagi
kesedihan yang satu ini dengan kawan-kawan terdekatnya sekalipun. Mereka hanya
bisa diajak bicara tentang seni, politik, filsafat, dan omong kosong lainnya,
tapi tidak tentang putri bungsunya.
Hanya dengan
perempuan tua itu ia harus bicara, karena ia menganggap perempuan tua itu
musabab seluruh kesedihan ini. Namun, lelaki tua tidak tahu bagaimana cara
mengajak perempuan tua itu bicara. Bahkan untuk meneleponnya, ia seolah
kehilangan cara. Ia takut harga dirinya jatuh dan perempuan tua itu makin
merasa di atas angin. Lelaki tua mengingat-ingat kapan terakhir kali ia
melakukannya. Ah, mungkin sepuluh tahun lalu.
Perempuan tua dan
lelaki muda itu masih duduk di balkon. Meneruskan minum anggur sembari ngobrol
ngalor ngidul tanpa topik yang jelas. Tentu saja tak perlu topik karena mereka
mengobrol bukan untuk keperluan apa pun selain menyakiti lelaki tua itu. Sekali
waktu perempuan tua mendekatkan wajahnya ke wajah lelaki muda seperti mau
menciumnya, berbisik-bisik entah apa, lalu tertawa. Sesekali ekor matanya
melirik ke rumah lelaki tua yang pintunya tertutup rapat.
Lelaki tua masih
menahan diri. Ia telah berpikir keras, namun semuanya buntu. Harapan bahwa
perempuan tua itu lebih dulu mendatangi dan mengajaknya bicara sama sekali tak
ada. Ia bergerak ke ruang tengah, menjangkau sebotol wiski dari minibar untuk
melumuri tenggorokannya yang kering. Ia minum perlahan-lahan seraya berharap
keajaiban datang. Saat berpikir seperti itu, dilihatnya perempuan tua dan
lelaki muda beranjak dari balkon. Mereka turun menuju garasi mobil.
“Kenapa kamu
memilih warna ungu?“ ujar lelaki muda seraya meraih kunci mobil dari genggaman
perempuan tua. Lelaki muda membuka pintu mobil dan menyalakan mesin, sementara
perempuan tua masih merapikan rambut dan memeriksa tas tangannya. Pada saat
itulah lelaki tua keluar dari rumah, berjalan menyeberangi taman menuju pintu
gerbang utama, lantas menutup kembali pintu gerbang yang telah dibuka oleh
pembantunya, menguncinya dengan gembok berbeda.
Perempuan tua
memalingkan wajahnya ke arah lelaki tua, seakan melihat sesuatu yang memuakkan.
“Morgan, apa yang
kamu lakukan?“
“Kau pikir apa
yang kulakukan?“ sahut lelaki tua itu.
“Hei, ada apa
denganmu? Kamu sedang mabuk?“
“Marce, aku ingin
bicara,“ kata lelaki tua.
Perempuan tua
tersenyum sinis. Memalingkan wajahnya ke rumpun bambu kuning yang daun-daunnya
berkesiur ditiup angin sore.
“Morgan, buka
pintunya! Bukankah kita sudah sepakat tidak saling mencampuri urusan
masing-masing?“ tukas perempuan tua.
“Marce, suruh
pulang pelacur itu, kita harus bicara,“ suara lelaki tua terdengar bergetar.
“Morgan, apa yang
kamu inginkan?“
“Kita harus
bicara.“
“Morgan, ada apa denganmu?
Kita sudah tak lagi punya urusan apa-apa!“
“Ini bukan
tentang urusan kita, tapi tentang Ciara.“
“Kamu terkejut
dan malu dengan pengakuan Ciara?“
Lelaki tua
memandang tajam mata perempuan tua. Tapi yang dipandang tetap terlihat tenang
dengan senyum sinis yang tak surut dari bibirnya. Lelaki itu tahu betapa
dirinya kini kalah telak. Ia betul-betul terlihat tolol seperti badut di taman
hiburan. Harga dirinya terempas dan mustahil dapat dikembalikan. Namun, lelaki
tua masih berupaya bertahan dengan susah payah supaya tidak benar-benar jatuh
tersungkur dan diinjak-injak perempuan tua itu.
“Tak perlu
sentimentil seperti itu, Morgan,“ kata perempuan tua kalem dan meremehkan,
“Urus saja hidupmu yang tak berguna itu.“
“Kamu pikir
hidupmu lebih berguna dari tikus-tikus got itu?“
“Apa pedulimu
dengan hidupku? Lekas serahkan kuncinya,“ tukas perempuan tua dengan sikap
pongah yang makin tak terduga oleh lelaki tua, “Aku tak punya waktu berdebat
dan membicarakan apa pun denganmu.“
Lelaki tua
bergeming. Ketika perempuan tua hendak merenggut kunci dari tangannya, dengan
cepat ia melemparnya ke kolam, lantas bergegas meninggalkan perempuan tua
dengan harga diri turut terpelanting ke dasar kolam. Lelaki tua tak bernyali
lagi memandang perempuan tua itu, ia berdiri tegak penuh kemenangan.
Menggandeng laki-laki muda, perempuan tua kemudian keluar lewat pintu lain, dan
menelepon taksi.
***
Saat lelaki tua
hendak membanting tubuhnya ke sofa, telepon selulernya bergetar. Dari Ciara.
Tapi keberaniannya telah raib. Menjelang tengah malam, barulah ia menekan
tombol kotak suara: “Papi, kami besok ke Belanda. Kami akan menikah di sana.
Minta restunya.“
Sejujurnya lelaki
tua mungkin tak benar-benar merasa terpukul dan mau memberikan restu jika saja
pasangan putri bungsunya itu bukan mantan kekasih yang masih ia cintai.
https://lakonhidup.wordpress.com/2013/05/26/rumah-yang-terbelah/#more-4078
0 komentar:
Posting Komentar